TEATER modern selalu berurusan dengan relasi yang bersifat
teknis antara bentuk (form) dan isi (matter). Brecht menggambarkan
relasi teknis ini sebagai kondisi niscaya dalam abad ilmu pengetahuan.
Brecht mempersoalkan bagaimana teater mampu mengkonstruksi realitas
menjadi sebuah tontonan yang kritis bagi penonton.
Sementara itu, Roland Barthes berpendapat bahwa dalam teater
sewajarnya terjadi sebuah relasi keberartian antara tontonan dan
penonton. Penonton merupakan bagian teater itu sendiri.
Pada hakikatnya penonton membutuhkan sebuah suguhan saat bentuk
kreasi-performanya senantiasa segar dan baru, mengharapkan isi cerita
yang disampaikan mengandung bobot filosofis yang bisa menambah bagasi
pengetahuan.
Teater Indonesia, sebagaimana yang diungkapkan Tommy F. Awuy, hidup
dalam ambiguitas. Dari sisi internal yang menyangkut urusan
kreativitas-estetik yang telah bergerak cukup dinamis. Namun pada sisi
eksternal teater Indonesia belum sanggup keluar dari problem klasik yang
menyangkut “kemiskinan”, terutama miskin secara ekonomi, miskin
kritikus dan kurator teater, miskin komunikasi, miskin penonton, miskin
manajemen, dan lain-lain.
Sementara itu, pada sisi pemanggungan, bagaimanapun teater sekarang
dihadapkan pada sebuah tantangan bahwa setiap tindak peran sebagai
tindak komunikatif yang mesti tersampaikan dengan semenarik mungkin.
Victor Turner, antropolog kontemporer yang meneliti perkembangan teater
dunia, menandaskan kini kita sedang memasuki “budaya performa” ketika
yang menjadi dasar logis proses kreatif teater adalah interkasi antar
unsur kehidupan dengan muatan-muatan keterampilan-keterampilan individu
dalam berekspresi.
Eksistensi dan sensibilitas teater kemudian menghadapi ujian dengan
perubahan zaman yang demikian cepat. Sebuah tantangan ketika teater
mesti membangun image yang berkisar pada pengetahuan, emosi, dan tingkat
apresiasi audiensinya. Sembari menimbang kondisi kontemporer yang
menghendaki pelakunya agar selalu berbenah dan lebih taktis dalam proses
kreatifnya.
Berangkat dari pemikiran di atas saya mencoba menendah beberapa
persoalan yang mengiringi perkembangan teater di Lampung. Dilihat dari
berbagai hal nasib teater Lampung masih memperihatinkan, apakah dari
kegiatan-kegiatan pertunjukan yang terkait langsung dengan faktor
pendanaan, kehadiran penonton, kemasan pementasan, atau event-event lain
sebentuk workshop maupun diskusi yang kerap berlangsung apa adanya.
Dari aspek pementasan, terhitung sejak bulan Januari hingga September
2007 ini, ada beberapa peristiwa penting yang menandai aktivitas pelaku
teater di Lampung, di antaranya pementasan “Nyai Ontosoroh” produksi
Teater Satu, “Parade Story Telling” produksi Unit Kegiatan Mahasiswa
Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung.
Kemudian ada beberapa persembahan Forum Teater Pelajar dan Mahasiswa
se-Lampung yang seluruh kegiatannya dipusatkan di gedung PKM Unila,
pementasan “Pinangan” dan “Wu Wei”, dan “Siapa Nama Aslimu” yang
diproduksi Komunitas Berkat Yakin. Terakhir pada bulan Agustus yang lalu
ada Liga Teater Pelajar yang diselenggarakan Taman Budaya Lampung
dengan diikuti sekitar 20-an kelompok teater tingkat SMA.
Jika kita berpegang pada kuantitas, hampir setiap bulan kita bisa
menikmati pementasan teater di Lampung. Selain Taman Budaya, gedung PKM
Unila juga telah menjadi ruang alternatif bagi berlangsungnya peristiwa
teater di Lampung.
Namun, geliat teater ini belum dibarengi kesadaran bahwa teater
adalah pula sebuah disiplin pengetahuan. Sikap ilmiah terhadap teater
belum menjadi landasan kreatif pelakunya. Kondisi ini memengaruhi daya
eksplorasi yang dilakukan suatu kelompok, termasuk memengaruhi kualitas
dan obsesi artistik yang hendak ditawarkan.
Banyak orang masih menganggap teater itu melulu ekspresi dan aktor
menjadi menanggung beban berat dalam mengusung pertunjukan meski itu
sudah menjadi tanggung jawabnya. Namun, cukup disayangkan unsur-unsur
teater yang lain menjadi kurang dimaksimalkan, seakan hanya memosisikan
diri sebagai pengiring pertunjukan.
Belum lagi minat yang tidak merata dalam menjalani proses latihan,
sehingga proses penjadian teater menjadi tersendat-sendat karena
ketidaksiapan aktor dalam mengusung konsep yang ada dalam benak
sutradara. Selain itu masih banyak kegagapan dalam tubuh teater
berkenaan dengan sistematisasi latihan.
Tersendatnya proses berteater di Lampung, disinyalir karena
terbatasnya referensi dan kurangnya pembinaan. Misalnya saja kelompok
teater yang basisnya pelajar, mereka mengalami problem yang lumayan
kompleks, di antaranya dukungan sekolah yang minim, pembina juga tidak
ada sehingga evolusi individu maupun kelompok berjalan lambat. Semetara
itu, kelompok lain di luar SMA terkendala minimnya sumber pendanaan dan
terbatasnya penonton.
Secara umum pelaku teater terlalu bergantung pada bakat yang
dimiliki, padahal dalam perjalanan proses berteater sebagaimana yang
saya jalani bersama dengan teman-teman di Komunitas Berkat Yakin maupun
ketika saya magang keaktoran di Teater Garasi Yogyakarta, kami sampai
pada kesimpulan bahwa dalam kinerja teater bakat itu hanya mengambil
peran 1%. Sedangkan 99% lain ialah hasil kerja keras dan disiplin yang
ketat.
Permasalahan teater di Lampung itu mulanya karena mayoritas orang
yang hidup di dalamnya terlalu mengandalkan intuisi, proses belajar
secara autodidak, kemudian tidak mencoba menambah wawasannya melalui
buku, pementasan kelompok lain, internet dan lain-lain. Masih banyak
media pengembangan dirri pelaku teater yang tidak diperhatikan karena
terlalu berkonsentrasi pada latihan. Teater belum dipamahami dan
disadari sebagi disiplin pengetahuan yang jelas.
Seni pemeranan seakan bergantung betul dengan bakat yang dibawa
orang-orang teaternya, bakat kemudian dianggap sebagai modal awal yang
mesti dimiliki, dan bahkan menjadi prasarat utama sebelum ia terjun ke
teater, padahal sebagai sebuah disiplin pengetahuan mestinya semua orang
bisa mempelajari teater, terlepas dari dia berbakat atau tidak.
Pencatatan adalah salah satu model pendekatan teater ilmiah. Disiplin
mencatat dalam teater masih kurang dianggap penting, padahal banyak
manfaat yang bisa ditarik dari kebiasaan ini, baik bagi aktor secara
pribadi maupun secara kelompok.
Sikap ilmiah seperti ini rupanya masih sering luput diterapkan banyak
kelompok teater di Lampung. Sebenarnya tidak terlalu sulit menanamkan
kebiasaan ini, banyak orang telah melakukan dengan cara sendiri. Bentuk
pencatatan bisa dengan cara dan gaya apa saja yang penting bisa dipahami
dan benar-benar merefleksikan kondisi objektif pencatatnya ketika
menjalani proses.
Yang belum terbiasa memang kesulitan mencatat secara sistematis,
tetapi ini tidak terlalu penting. Yang terpenting membuat kebiasaan
mencatat dengan konsisten.
Kurangnya sikap ilmiah ini menyebabkan kualitas dan metode pendekatan
teater kurang variatif dan kerap tidak memiliki dasar yang kuat
pemikiran yang jelas. Karena terbatas referensi dan kurang pengamatan
atas proses yang dijalani, ditambah dengan tingkat disiplin serta
totalitas yang masih perlu dipertanyakan sehingga teater pun seperti
tidak membawa manfaat apa pun.
Tentu saja kondisi ini yang menyebabkan banyak pelaku teater
ramai-ramai meninggalkan teater. Sesungguhnya kesalahan bukan pada
teater tetapi bagaimana seseorang menjalani proses berteaternya.
Hambatan kinerja teater selain masalah internal sebagaimana yang
telah saya ungkapkan di atas disebabkan minimnya dukungan pihak luar.
Sementara itu, sisi manajerial masih berantakan.
Misalnya saja Liga Teater Pelajar itu tetap bertahan hingga sekarang
karena didukung lembaga pemerintah yang pendanaannya sudah pasti ada,
sehingga orang-orang yang mengelola kegiatan ini tidak kesulitan
menyelenggarakannya. Dukungan sekolah untuk mendorong siswanya mengasah
kemampuan kreatifnya masih minim sekali dan memang sekolah-sekolah
kekurangan orang yang benar-benar berkompeten mengajarkan teater.
Padahal teater sudah masuk kurikulum pembelajaran kini.
Kelompok-kelomok teater yang ada di perguruan tinggi, nasibnya lebih
kacau lagi. Sudah pelakunya tidak memilki kesadaran ilmiah, secara
mental juga tidak mendukung menjalani proses berteater yang ketat,
sehingga proses belajar tidak berlangsung dengan baik.
Dari sisi eksternal, dukungan akademik yang minim menyebabkan teater
di beberapa perguruan tinggi di Lampung hilang begitu saja. Tentu saja
kenyataan ini sangat disayangkan mengingat mahasiswa yang sudah memiliki
basis intelektual atau wawasan yang makin luas nyatanya lebih melempem
semangatnya dibanding dengan anak-anak SMA.
Beberapa waktu lalu pernah terdengar nama Teater Biru (STMIK
Darmaja), Green Teater (AMIK Mitra Lampung), Teater UKMSBI IAIN Raden
Intan Bandar Lampung, Teater Mentari UM Metro, IMPAS STAIN Metro yang
sekarang sepertinya sudah tak berkarya lagi. Mungkin karena jadwal
kualiah yang padat, dan lemahnya kemauan (niat) pelakunya yang
menyebabkan kondisi seperti ini.
Kenyataan-kenyataan di atas makin menegaskan tradisi intelektual
(ilmiah) dalam tubuh teater tidak berjalan dengan semestinya. Tingkat
mahasiswa saja sulit diajak berpikir “serius”. Mentalitasnya sebagai
mahasiswa memang perlu dipertanyakan. Di beberapa kampus, ruang teater
atau seni hanya jadi tempat kumpul-kumpul tanpas sebuah bahasan pun
mengenai teater. Sungguh menggelikan memang melihat realitas perteateran
di tingkat perguruan tinggi.
Teater independen di Lampung diwakili Teater Satu dan Komunitas
Berkat Yakin, beberapa waktu lalu ada Kyoto Teater yang markasnya di
Kotabumi, Lampung Utara, tetapi tidak terpantau bagaimana
perkembangannya sejauh ini. Ini yang masih eksis sekarang, sedangkan
kelompok teater lain sudah berangkat entah ke mana.
Salah satu tahap berteater yang kurang mendapat perhatian adalah
bahwa dalam teater itu ada tahap preekspresivitas (training-pengolahan)
atau lebih mudahnya adalah latihan persiapan sebelum masuk naskah atau
teks atau garapan. Dan ada rehearsal sebagai kelanjutan dari training.
Kalau training adalah latihan untuk latihan, rehearsal adalah latihan
untuk pementasan atau tujuan tertentu. Tahap training menghendaki aktor
untuk mengenali dan mengolah sumber daya yang ada dalam dirinya, baik
tubuh, emosi, maupun kognitif.
Sedangkan rehearsal menghendaki aktor untuk memainkan peran tertentu
atau kebutuhan artistik tertentu, dengan tingkat akurasi tertentu pula,
porsi-takaran-ketepatan menjadi penting pada tahap ini.
Pertanyaannya sebesar apa pelaku teater memahami tahap-tahap yang
mesti dilaluinya. Mayoritas pelaku teater kita langsung masuk tahap
rehearsal. Tahap training tidak dilakukan, sehingga tidak perlu heran
ada sutradara sulit menemukan aktor yang benar-benar siap dalam garapan.
Ketidaksiapan aktor ini berimplikasi menumpuknya tugas sutradara, yang
pertama memikirkan konsep dan model pertunjukannya kemudian memikirkan
kelemahan-kelemahan aktornya.
Minoritas bukan lagi hal yang pantas dibahas untuk masa sekarang.
Sebab, zaman yang makin canggih dengan meningkatnya teknologi informasi
dan majunya ilmu pengetahuan, harus pula dapa dimbangi pelaku teater
baik bentuk, gaya, maupun teknologi pemanggungannya. Segala informasi
dan peristiwa teater di berbagai belahan dunia bisa diakses sekarang,
para pelaku teater sendiri tinggal terus menambah modal kulturalnya
sehingga mampu bersaing dengan bidang lain. Mampu tetap hidup secara
normal (dalam kerangka sosial) dan sekaligus terus meningkatkan standar
kualitas penciptaan (obsesi artistik).
Meskipun sulit, teater itu akan tetap hidup di masa-masa mendatang.
Meski bergantung betul dengan kualitas individu yang di dalamnya.
Totalitas dan konsistensi menjadi harga mati yang mesti dilakoni
orang-orang yang berniat menerjunkan diri untuk menggauli teater. Teater
saya rasa masih relevan untuk dijadikan media pembelajaran alternatif
diluar lembag-lembaga pendidikan formal dan sekaligus mengambil fungsi
sebagai filter masuknya kebudayaan luar. Fleksibilitas teater yang bisa
dimasuki segala aspek kehidupan dan segala bentuk disiplin ilmu
(pengetahuan) ini memungkinkan teater terus bertahan hidup dan melakukan
evolusi terus-menerus.
Tentu saja teater masih dipandang sebelah mata oleh banyak pihak
karena secara pengetahuan teater seperti sulit membitikan diri, ditambah
dengan kebutuhan masyarajat sekarang yang makin pragmatis dan konsumtif
seperti sekarang. Genarasi instan (instan culture). Tidak adah hal yang
tiba-tiba atau bisa ditempuh dengan relitif singkat dalam proses
pendewasaan budaya dan spesifik teater.
Akhirnya, saya tetap percaya bahwa teater akan terus bertahan meski
dalam tahap minimalnya. Akan ada saja “orang gila” yang berminat
mengembangkan teater di Lamupung. Betapa tidak disebut orang gila karena
orang kebanyakan tidak ada yang menaruh perhatian, jadi yang mayoritas
tentunya akan mengganggap pelaku teater itu sebagai orang gila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar