Selasa, 30 April 2013

17.pengetahuan dalam berteater

TEATER modern selalu berurusan dengan relasi yang bersifat teknis antara bentuk (form) dan isi (matter). Brecht menggambarkan relasi teknis ini sebagai kondisi niscaya dalam abad ilmu pengetahuan. Brecht mempersoalkan bagaimana teater mampu mengkonstruksi realitas menjadi sebuah tontonan yang kritis bagi penonton.
Sementara itu, Roland Barthes berpendapat bahwa dalam teater sewajarnya terjadi sebuah relasi keberartian antara tontonan dan penonton. Penonton merupakan bagian teater itu sendiri.
Pada hakikatnya penonton membutuhkan sebuah suguhan saat bentuk kreasi-performanya senantiasa segar dan baru, mengharapkan isi cerita yang disampaikan mengandung bobot filosofis yang bisa menambah bagasi pengetahuan.
Teater Indonesia, sebagaimana yang diungkapkan Tommy F. Awuy, hidup dalam ambiguitas. Dari sisi internal yang menyangkut urusan kreativitas-estetik yang telah bergerak cukup dinamis. Namun pada sisi eksternal teater Indonesia belum sanggup keluar dari problem klasik yang menyangkut “kemiskinan”, terutama miskin secara ekonomi, miskin kritikus dan kurator teater, miskin komunikasi, miskin penonton, miskin manajemen, dan lain-lain.
Sementara itu, pada sisi pemanggungan, bagaimanapun teater sekarang dihadapkan pada sebuah tantangan bahwa setiap tindak peran sebagai tindak komunikatif yang mesti tersampaikan dengan semenarik mungkin. Victor Turner, antropolog kontemporer yang meneliti perkembangan teater dunia, menandaskan kini kita sedang memasuki “budaya performa” ketika yang menjadi dasar logis proses kreatif teater adalah interkasi antar unsur kehidupan dengan muatan-muatan keterampilan-keterampilan individu dalam berekspresi.
Eksistensi dan sensibilitas teater kemudian menghadapi ujian dengan perubahan zaman yang demikian cepat. Sebuah tantangan ketika teater mesti membangun image yang berkisar pada pengetahuan, emosi, dan tingkat apresiasi audiensinya. Sembari menimbang kondisi kontemporer yang menghendaki pelakunya agar selalu berbenah dan lebih taktis dalam proses kreatifnya.
Berangkat dari pemikiran di atas saya mencoba menendah beberapa persoalan yang mengiringi perkembangan teater di Lampung. Dilihat dari berbagai hal nasib teater Lampung masih memperihatinkan, apakah dari kegiatan-kegiatan pertunjukan yang terkait langsung dengan faktor pendanaan, kehadiran penonton, kemasan pementasan, atau event-event lain sebentuk workshop maupun diskusi yang kerap berlangsung apa adanya.
Dari aspek pementasan, terhitung sejak bulan Januari hingga September 2007 ini, ada beberapa peristiwa penting yang menandai aktivitas pelaku teater di Lampung, di antaranya pementasan “Nyai Ontosoroh” produksi Teater Satu, “Parade Story Telling” produksi Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Lampung.
Kemudian ada beberapa persembahan Forum Teater Pelajar dan Mahasiswa se-Lampung yang seluruh kegiatannya dipusatkan di gedung PKM Unila, pementasan “Pinangan” dan “Wu Wei”, dan “Siapa Nama Aslimu” yang diproduksi Komunitas Berkat Yakin. Terakhir pada bulan Agustus yang lalu ada Liga Teater Pelajar yang diselenggarakan Taman Budaya Lampung dengan diikuti sekitar 20-an kelompok teater tingkat SMA.
Jika kita berpegang pada kuantitas, hampir setiap bulan kita bisa menikmati pementasan teater di Lampung. Selain Taman Budaya, gedung PKM Unila juga telah menjadi ruang alternatif bagi berlangsungnya peristiwa teater di Lampung.
Namun, geliat teater ini belum dibarengi kesadaran bahwa teater adalah pula sebuah disiplin pengetahuan. Sikap ilmiah terhadap teater belum menjadi landasan kreatif pelakunya. Kondisi ini memengaruhi daya eksplorasi yang dilakukan suatu kelompok, termasuk memengaruhi kualitas dan obsesi artistik yang hendak ditawarkan.
Banyak orang masih menganggap teater itu melulu ekspresi dan aktor menjadi menanggung beban berat dalam mengusung pertunjukan meski itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Namun, cukup disayangkan unsur-unsur teater yang lain menjadi kurang dimaksimalkan, seakan hanya memosisikan diri sebagai pengiring pertunjukan.
Belum lagi minat yang tidak merata dalam menjalani proses latihan, sehingga proses penjadian teater menjadi tersendat-sendat karena ketidaksiapan aktor dalam mengusung konsep yang ada dalam benak sutradara. Selain itu masih banyak kegagapan dalam tubuh teater berkenaan dengan sistematisasi latihan.
Tersendatnya proses berteater di Lampung, disinyalir karena terbatasnya referensi dan kurangnya pembinaan. Misalnya saja kelompok teater yang basisnya pelajar, mereka mengalami problem yang lumayan kompleks, di antaranya dukungan sekolah yang minim, pembina juga tidak ada sehingga evolusi individu maupun kelompok berjalan lambat. Semetara itu, kelompok lain di luar SMA terkendala minimnya sumber pendanaan dan terbatasnya penonton.
Secara umum pelaku teater terlalu bergantung pada bakat yang dimiliki, padahal dalam perjalanan proses berteater sebagaimana yang saya jalani bersama dengan teman-teman di Komunitas Berkat Yakin maupun ketika saya magang keaktoran di Teater Garasi Yogyakarta, kami sampai pada kesimpulan bahwa dalam kinerja teater bakat itu hanya mengambil peran 1%. Sedangkan 99% lain ialah hasil kerja keras dan disiplin yang ketat.
Permasalahan teater di Lampung itu mulanya karena mayoritas orang yang hidup di dalamnya terlalu mengandalkan intuisi, proses belajar secara autodidak, kemudian tidak mencoba menambah wawasannya melalui buku, pementasan kelompok lain, internet dan lain-lain. Masih banyak media pengembangan dirri pelaku teater yang tidak diperhatikan karena terlalu berkonsentrasi pada latihan. Teater belum dipamahami dan disadari sebagi disiplin pengetahuan yang jelas.
Seni pemeranan seakan bergantung betul dengan bakat yang dibawa orang-orang teaternya, bakat kemudian dianggap sebagai modal awal yang mesti dimiliki, dan bahkan menjadi prasarat utama sebelum ia terjun ke teater, padahal sebagai sebuah disiplin pengetahuan mestinya semua orang bisa mempelajari teater, terlepas dari dia berbakat atau tidak.
Pencatatan adalah salah satu model pendekatan teater ilmiah. Disiplin mencatat dalam teater masih kurang dianggap penting, padahal banyak manfaat yang bisa ditarik dari kebiasaan ini, baik bagi aktor secara pribadi maupun secara kelompok.
Sikap ilmiah seperti ini rupanya masih sering luput diterapkan banyak kelompok teater di Lampung. Sebenarnya tidak terlalu sulit menanamkan kebiasaan ini, banyak orang telah melakukan dengan cara sendiri. Bentuk pencatatan bisa dengan cara dan gaya apa saja yang penting bisa dipahami dan benar-benar merefleksikan kondisi objektif pencatatnya ketika menjalani proses.
Yang belum terbiasa memang kesulitan mencatat secara sistematis, tetapi ini tidak terlalu penting. Yang terpenting membuat kebiasaan mencatat dengan konsisten.
Kurangnya sikap ilmiah ini menyebabkan kualitas dan metode pendekatan teater kurang variatif dan kerap tidak memiliki dasar yang kuat pemikiran yang jelas. Karena terbatas referensi dan kurang pengamatan atas proses yang dijalani, ditambah dengan tingkat disiplin serta totalitas yang masih perlu dipertanyakan sehingga teater pun seperti tidak membawa manfaat apa pun.
Tentu saja kondisi ini yang menyebabkan banyak pelaku teater ramai-ramai meninggalkan teater. Sesungguhnya kesalahan bukan pada teater tetapi bagaimana seseorang menjalani proses berteaternya.
Hambatan kinerja teater selain masalah internal sebagaimana yang telah saya ungkapkan di atas disebabkan minimnya dukungan pihak luar. Sementara itu, sisi manajerial masih berantakan.
Misalnya saja Liga Teater Pelajar itu tetap bertahan hingga sekarang karena didukung lembaga pemerintah yang pendanaannya sudah pasti ada, sehingga orang-orang yang mengelola kegiatan ini tidak kesulitan menyelenggarakannya. Dukungan sekolah untuk mendorong siswanya mengasah kemampuan kreatifnya masih minim sekali dan memang sekolah-sekolah kekurangan orang yang benar-benar berkompeten mengajarkan teater. Padahal teater sudah masuk kurikulum pembelajaran kini.
Kelompok-kelomok teater yang ada di perguruan tinggi, nasibnya lebih kacau lagi. Sudah pelakunya tidak memilki kesadaran ilmiah, secara mental juga tidak mendukung menjalani proses berteater yang ketat, sehingga proses belajar tidak berlangsung dengan baik.
Dari sisi eksternal, dukungan akademik yang minim menyebabkan teater di beberapa perguruan tinggi di Lampung hilang begitu saja. Tentu saja kenyataan ini sangat disayangkan mengingat mahasiswa yang sudah memiliki basis intelektual atau wawasan yang makin luas nyatanya lebih melempem semangatnya dibanding dengan anak-anak SMA.
Beberapa waktu lalu pernah terdengar nama Teater Biru (STMIK Darmaja), Green Teater (AMIK Mitra Lampung), Teater UKMSBI IAIN Raden Intan Bandar Lampung, Teater Mentari UM Metro, IMPAS STAIN Metro yang sekarang sepertinya sudah tak berkarya lagi. Mungkin karena jadwal kualiah yang padat, dan lemahnya kemauan (niat) pelakunya yang menyebabkan kondisi seperti ini.
Kenyataan-kenyataan di atas makin menegaskan tradisi intelektual (ilmiah) dalam tubuh teater tidak berjalan dengan semestinya. Tingkat mahasiswa saja sulit diajak berpikir “serius”. Mentalitasnya sebagai mahasiswa memang perlu dipertanyakan. Di beberapa kampus, ruang teater atau seni hanya jadi tempat kumpul-kumpul tanpas sebuah bahasan pun mengenai teater. Sungguh menggelikan memang melihat realitas perteateran di tingkat perguruan tinggi.
Teater independen di Lampung diwakili Teater Satu dan Komunitas Berkat Yakin, beberapa waktu lalu ada Kyoto Teater yang markasnya di Kotabumi, Lampung Utara, tetapi tidak terpantau bagaimana perkembangannya sejauh ini. Ini yang masih eksis sekarang, sedangkan kelompok teater lain sudah berangkat entah ke mana.
Salah satu tahap berteater yang kurang mendapat perhatian adalah bahwa dalam teater itu ada tahap preekspresivitas (training-pengolahan) atau lebih mudahnya adalah latihan persiapan sebelum masuk naskah atau teks atau garapan. Dan ada rehearsal sebagai kelanjutan dari training.
Kalau training adalah latihan untuk latihan, rehearsal adalah latihan untuk pementasan atau tujuan tertentu. Tahap training menghendaki aktor untuk mengenali dan mengolah sumber daya yang ada dalam dirinya, baik tubuh, emosi, maupun kognitif.
Sedangkan rehearsal menghendaki aktor untuk memainkan peran tertentu atau kebutuhan artistik tertentu, dengan tingkat akurasi tertentu pula, porsi-takaran-ketepatan menjadi penting pada tahap ini.
Pertanyaannya sebesar apa pelaku teater memahami tahap-tahap yang mesti dilaluinya. Mayoritas pelaku teater kita langsung masuk tahap rehearsal. Tahap training tidak dilakukan, sehingga tidak perlu heran ada sutradara sulit menemukan aktor yang benar-benar siap dalam garapan. Ketidaksiapan aktor ini berimplikasi menumpuknya tugas sutradara, yang pertama memikirkan konsep dan model pertunjukannya kemudian memikirkan kelemahan-kelemahan aktornya.
Minoritas bukan lagi hal yang pantas dibahas untuk masa sekarang. Sebab, zaman yang makin canggih dengan meningkatnya teknologi informasi dan majunya ilmu pengetahuan, harus pula dapa dimbangi pelaku teater baik bentuk, gaya, maupun teknologi pemanggungannya. Segala informasi dan peristiwa teater di berbagai belahan dunia bisa diakses sekarang, para pelaku teater sendiri tinggal terus menambah modal kulturalnya sehingga mampu bersaing dengan bidang lain. Mampu tetap hidup secara normal (dalam kerangka sosial) dan sekaligus terus meningkatkan standar kualitas penciptaan (obsesi artistik).
Meskipun sulit, teater itu akan tetap hidup di masa-masa mendatang. Meski bergantung betul dengan kualitas individu yang di dalamnya. Totalitas dan konsistensi menjadi harga mati yang mesti dilakoni orang-orang yang berniat menerjunkan diri untuk menggauli teater. Teater saya rasa masih relevan untuk dijadikan media pembelajaran alternatif diluar lembag-lembaga pendidikan formal dan sekaligus mengambil fungsi sebagai filter masuknya kebudayaan luar. Fleksibilitas teater yang bisa dimasuki segala aspek kehidupan dan segala bentuk disiplin ilmu (pengetahuan) ini memungkinkan teater terus bertahan hidup dan melakukan evolusi terus-menerus.
Tentu saja teater masih dipandang sebelah mata oleh banyak pihak karena secara pengetahuan teater seperti sulit membitikan diri, ditambah dengan kebutuhan masyarajat sekarang yang makin pragmatis dan konsumtif seperti sekarang. Genarasi instan (instan culture). Tidak adah hal yang tiba-tiba atau bisa ditempuh dengan relitif singkat dalam proses pendewasaan budaya dan spesifik teater.
Akhirnya, saya tetap percaya bahwa teater akan terus bertahan meski dalam tahap minimalnya. Akan ada saja “orang gila” yang berminat mengembangkan teater di Lamupung. Betapa tidak disebut orang gila karena orang kebanyakan tidak ada yang menaruh perhatian, jadi yang mayoritas tentunya akan mengganggap pelaku teater itu sebagai orang gila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar